Bangga Menjadi Bagian dari PGSD UM

Bagi anak kelas XII SMA, pertanyaan “Mau kuliah dimana? Ambil jurusan apa?” adalah pertanyaan papan atas yang gak pernah luput untuk ditanyakan. Kebanyakan anak yang lebih memilih SMA daripada SMK memang dari awal berencana untuk melanjutkan kuliah, ya walaupun gak semua sih. Saat itu, aku juga bertanya hal yang sama kepada temen-temenku dan ditanya oleh mereka dengan pertanyaan yang sama.

 

“Kon kate kuliah nandi maringene, Pir? Njupuk jurusan opo?”

 

 

Aku menjawab dengan mantap. “PGSD. Nek gak Unesa, yo UM. Pokok e PGSD.”

 

 

Begitu denger kata ‘PGSD’, semua temenku mengernyitkan dahi. Gak ada yang tau apa itu PGSD. Kebanyakan temenku familiar dengan jurusan seperti kedokteran, PWK, arsitektur, teknik sipil, FKM, desain grafis, dan bukan PGSD. Mereka juga kebanyakan terpikir untuk kuliah ke ITS, Unair, UB (Unibraw), dan universitas-universitas lain yang non keguruan/pendidikan. Jarang dari mereka terpikir untuk masuk ke jurusan-jurusan yang keguruan/kependidikan.

 

“PGSD? Opo iku? Gak tau krungu.”

 

Selalu begitu. Setiap kali aku bilang PGSD, pasti gak ada yang tau. Lalu aku menjelaskan kalau PGSD itu Pendidikan Guru Sekolah Dasar (SD). Mereka kemudian mengangguk. Mereka paham betul kalau dari kelas XI aku emang udah niat banget pengen jadi guru, terutama guru SD.

 

Jika dulu banyak yang gak ngerti tentang PGSD, sekarang PGSD malah sangat populer. Banyak sekali peminatnya. Hal itu terbukti dengan banyaknya pendaftar setiap tahunnya. Contohnya di UM, almamaterku. Pendaftar jurusan lain hanya berkisar ratusan, PGSD kisarannya mencapai ribuan.

 

Pas tahunku dulu, yang daftar PGSD tuh 2000an, yang diterima cuma 3 kelas, sekitar 150an. Jika diumpamakan, probabilitas keterima PGSD tuh sama kayak 1 dibanding berapa yaaa… sekitar 1:13. Itu dulu pas tahunku. Sekarang beda lagi. Tiap tahun peminat PGSD semakin meningkat. Mungkin karena faktor desas-desus bakal banyak guru yang pensiun, serta adanya tunjangan sertifikasi kali ya. Akibatnya banyak orangtua yang berpikir menjadikan anaknya seorang guru, utamanya guru SD, adalah pilihan yang sangat tepat mengingat kesejahteraan guru semakin terjamin.

 

Meski demikian, gak gampang masuk PGSD. Serangkaian tes harus dijalani. Hal ini dimaksudkan agar input (maba) yang diterima adalah pilihan yang berkualitas, sehingga dengan olahan yang baik oleh universitas, akan dihasilkan output (lulusan) yang bermutu. Tes dilakukan berkali-kali, mulai dari tes potensi akademik hingga tes keterampilan. Beuuh riweuh pokoknya. Kalau kata anak Kediri, peehh jaann ra umum tes e.

 

Sekarang aku udah semester 7 di PGSD UM. Kalau inget-inget masa pendaftaran dulu, jadi merasa sangat bangga bisa menjadi bagian dari civitas akademika PGSD UM. Serius ini. Gak mbujuk brooh. Tesnya banyak banget, mana ngantrinya lama.

 

Yang khas dari PGSD tuh tes kemampuan/keterampilan dasar yang sekaligus tes wawancara. Kalau di UM, setiap peserta akan ditanya oleh dosen penguji. Pertanyaan yang gak pernah terlewatkan yaitu, “Mengapa memilih PGSD?”

 

Umumnya, jawaban yang keluar dari mulut para peserta yaitu “Menjadi guru SD adalah cita-cita saya sejak kecil.” Biasanya jawaban yang seperti ini bernilai kurang, karena sudah sangat klise. Ketika ditanya alasan masuk PGSD, para peserta harus menjawab dengan mantap dan rasional, bukan berlindung dibalik ‘cita-cita sejak kecil’.

 

Setelah itu, dosen akan bertanya-tanya tentang asal kita, apa saja yang khas dari daerah kita (kebudayaan, kuliner, dsb), atau bisa jadi latar belakang keluarga kita. Itu semua tergantung dari dosennya juga sih.

 

Tapi yang gak pernah ketinggalan, kalau di UM tuh para peserta dikasih kertas kosong gitu kan… Nah para peserta disuruh ngegambar disitu, gambar apa aja terserah… Yang pasti, gambar tersebut harus disertai dengan keterangan. Jadi seumpamanya aku gambar sebuah rumah, nah di bawah gambar tadi ada tempat untuk menuliskan alasan/maksud kita dengan gambar tersebut. Tes ini selalu ada di PGSD UM.

 

Nah setelah ditanya-tanya dan disuruh ngegambar (gak tau yang mana lebih dulu, lupa), para peserta diminta buat nyanyi, nari, nulis tegak bersambung (latin), praktik mengajar, atau bahkan sekedar jalan biasa di depan dosen. Tes ini juga tergantung dosen pengujinya. Ada dosen yang cuma meminta peserta yang diujinya buat melakukan salah satu dari hal-hal yang aku sebutin tadi, ada juga dosen yang meminta semuanya dilakukan.

 

Well, menjadi guru itu gak mudah. Jika dulu guru disepelekan, maka sekarang berbeda. Guru sama dengan dokter. Oleh sebab itu, buat kalian yang masuk PGSD dan berminat masuk PGSD, jangan merasa kecil hati, justru berbanggalah. Derajat kita sama elitnya dengan anak-anak FK. *nepuk dada*

 

Kalau FK banyak peminatnya dan banyak saingannya, PGSD juga. Kalau buat masuk FK tesnya susah, PGSD juga. Kalau jadi dokter harus sarjana, jadi guru juga. Kalau jadi dokter harus praktik dulu, jadi guru juga. Kalau dokter punya kode etik kedokteran, guru juga punya kode etik keguruan. Kalau dokter menangani pasien yang berpenyakit, guru juga (menangani siswa yang bermasalah). Yaa pokoknya gak beda jauh lah.

 

Intinya sih kuliah di jurusan apapun di universitas manapun sama aja, sama bagusnya sama pentingnya asal setiap yang kita pelajari akan dipergunakan/dimanfaatkan. Gak ada ilmu pengetahuan yang terbaik, semua ilmu pengetahuan itu baik, penting, dan dibutuhkan.

 

Salam PGSD